Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK, menjadi sorotan publik akibat kebijakan pemblokiran rekening dormant yang memunculkan banyak reaksi keras, hingga akhirnya kebijakan itu dibatalkan setelah Presiden Prabowo melakukan intervensi. Kebijakan yang katanya bertujuan untuk mencegah tindak pidana pencucian uang (TPPU) itu, menurut saya salah sasaran dan justru membuat saya berpikir, apakah PPATK sedang menarik perhatian publik? Kenapa saya berpikir demikian? Karena menurut saya, PPATK ingin masyarakat terus menyadari bahwa ada RUU Perampasan Aset yang hingga saat ini belum menjadi Prioritas di DPR. Maka dari itu, guna “mengingatkan” masyarakat, PPATK (hemat saya) ingin terus eksis walaupun melalui kebijakan yang tidak tepat sasaran. Dan yang menjadi asumsi selanjutnya adalah, apakah PPATK mulai terjangkit “star syndrome” mengingat masyarakat mendukung RUU Perampasan Aset?
Pemblokiran Rekening Dormant
PPATK telah memblokir lebih dari 140 ribu rekening dormant dengan total saldo Rp428,61 miliar, yang diklaim rentan disalahgunakan untuk aktivitas ilegal seperti judi online, penipuan, dan TPPU. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menyatakan bahwa kebijakan ini berhasil mengurangi deposit judi online sebesar 70%. Namun, data menunjukkan bahwa penurunan transaksi judi online—dari 209 juta transaksi senilai Rp90 triliun pada 2024 menjadi 39,8 juta transaksi senilai Rp47 triliun pada 2025—telah terjadi sebelum kebijakan ini diterapkan, sehingga menimbulkan keraguan terhadap kausalitas klaim tersebut. Selain itu, pemblokiran rekening dormant tampak kontradiktif dengan pencegahan TPPU, yang menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 melibatkan transaksi aktif untuk menyamarkan dana hasil kejahatan, bukan rekening tanpa aktivitas selama 3-12 bulan.
Jika kita menengok ke dalam Teori Agenda Setting, dijelaskan bahwa institusi dapat memengaruhi prioritas publik dengan menonjolkan isu tertentu. Dalam konteks ini, PPATK tampaknya menggunakan kebijakan pemblokiran sebagai sarana untuk mengarahkan perhatian publik pada isu judi online dan TPPU. Pengumuman penurunan 70% deposit judi online, memperkuat asumsi bahwa PPATK proaktif dalam memerangi kejahatan keuangan. Namun, minimnya data spesifik mengenai keterkaitan rekening dormant dengan aktivitas ilegal, serta protes nasabah yang merasa dirugikan, menunjukkan bahwa kebijakan ini mungkin lebih bertujuan untuk menarik perhatian publik daripada memberikan solusi yang efektif. Hal ini menurut saya, mencerminkan indikasi star syndrome, di mana PPATK memanfaatkan isu populer untuk meningkatkan visibilitas institusi.
Legitimasi Institusional
Seperti yang kita ketahui bersama, RUU Perampasan Aset mendapat dukungan luas dari masyarakat sipil, termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW), karena dianggap sebagai alat yang efektif untuk merampas aset hasil kejahatan tanpa tergantung pada putusan pidana. Menurut ICW, kerugian negara akibat korupsi pada 2023 mencapai Rp56 triliun, tetapi hanya Rp7 triliun yang berhasil dipulihkan yang menegaskan urgensi dari RUU Perampasan Aset. Sebagai bahan informasi, PPATK sendiri telah lama mengadvokasi pengesahan RUU ini sejak 2009, dengan alasan bahwa ketiadaan payung hukum memungkinkan pelaku kejahatan menyembunyikan aset. Nah kebijakan pemblokiran rekening dormant dapat dilihat sebagai upaya PPATK untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap agenda pemberantasan kejahatan keuangan, sejalan dengan popularitas RUU Perampasan Aset. Namun sayangnya, kebijakan pemblokiran rekening itu tidak tepat, karena tidak langsung menyentuh ke akar permasalahan.
Nah yang jadi pertanyaan, kenapa PPATK malah mengeluarkan kebijakan yang hanya terkesan “tes ombak” saja? Tanpa analisis yang mendalam, pemblokiran rekening menurut saya hanyalah tindakan bodoh yang sengaja dikeluarkan oleh orang bodoh.
Dalam teori Legitimasi Institusional yang dipaparkan oleh Suchman (1995), dijelaskan bahwa organisasi berusaha memperoleh legitimasi dengan menyelaraskan tindakan mereka dengan nilai-nilai yang diterima masyarakat. Asumsi saya, PPATK sengaja memanfaatkan dukungan publik terhadap RUU Perampasan Aset untuk melegitimasi kebijakan pemblokiran rekening dormant, dengan mengaitkannya pada pencegahan TPPU dan judi online. Namun, kontradiksi antara karakteristik rekening dormant dan TPPU, serta kritik dari DPR dan YLKI mengenai kurangnya selektivitas, menunjukkan bahwa kebijakan ini mungkin lebih bertujuan untuk memperkuat citra PPATK sebagai institusi proaktif daripada memberikan dampak nyata.
Dampak Sosial dan Persepsi Publik
Kebijakan pemblokiran rekening dormant memicu reaksi signifikan dari masyarakat, seperti para nasabah yang memprotes pemblokiran rekening mereka tanpa pemberitahuan yang memadai, sementara YLKI menyoroti kurangnya komunikasi publik dan potensi risiko terhadap dana nasabah. Anggota DPR, seperti Melchias Marcus Mekeng, mempertanyakan landasan hukum kebijakan ini, yang beranggapan bahwa alasan status dormant tidak cukup sebagai dasar pemblokiran. Meskipun Wakil Ketua Komisi III DPR, Rano Alfath, mendukung kebijakan ini sebagai langkah pencegahan, ia menekankan tentang perlunya transparansi untuk mencegah kepanikan publik. Akibatnya, persepsi publik terhadap PPATK pun terpolarisasi, di mana sebagian mengapresiasi upaya pemberantasan kejahatan, sementara lainnya menganggap kebijakan ini sewenang-wenang.
Berdasarkan perspektif Goffman (1974) melalui Teori Farming, menurut saya PPATK sengaja membingkai kebijakan pemblokiran sebagai tindakan strategis untuk melindungi masyarakat dari judi online dan TPPU. Namun, kurangnya transparansi dalam kriteria pemblokiran dan komunikasi yang minim menciptakan framing alternatif di kalangan masyarakat, yaitu bahwa PPATK bertindak gegabah dan tidak mempertimbangkan dampak sosial. Kegagalan PPATK dalam membangun komunikasi publik yang efektif memperkuat asumsi saya, di mana fokus pada “citra keberhasilan” mengorbankan kepercayaan masyarakat.
Penutup
Kebijakan pemblokiran rekening dormant oleh PPATK, yang semula digadang-gadang sebagai langkah strategis untuk memerangi tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan judi online, telah memunculkan gelombang kontroversi yang signifikan. Melalui analisis menggunakan lensa Teori Agenda Setting, Legitimasi Institusional, dan Framing, tulisan saya ini mengungkap bahwa kebijakan tersebut tampaknya lebih berfokus pada upaya menarik perhatian publik ketimbang memberikan solusi yang tepat sasaran. Indikasi “star syndrome” pada PPATK terlihat dari kecenderungan untuk memanfaatkan isu populer, seperti RUU Perampasan Aset yang mendapat dukungan luas, guna memperkuat citra institusi sebagai garda terdepan dalam pemberantasan kejahatan keuangan. Namun, minimnya transparansi, kurangnya selektivitas dalam pelaksanaan kebijakan, dan komunikasi publik yang lemah telah memicu polarisasi persepsi masyarakat di mana sebagian mengapresiasi, sementara lainnya menilai bahwa tindakan PPATK sebagai sewenang-wenang dan gegabah.
Kegagalan kebijakan ini tidak hanya menimbulkan keraguan terhadap efektivitas PPATK dalam menangani TPPU, tetapi juga merusak kepercayaan publik yang menjadi aset penting bagi legitimasi institusi. Protes dari nasabah, kritik dari DPR, dan sorotan dari organisasi seperti YLKI menegaskan bahwa kebijakan yang tidak didukung oleh analisis mendalam dan komunikasi yang memadai, berisiko menciptakan dampak sosial yang kontraproduktif.
PPATK harus memastikan bahwa setiap langkah yang diambil tidak hanya bertujuan mencari sorotan atau memperkuat citra, tetapi benar-benar berorientasi pada kepentingan masyarakat dan penyelesaian masalah secara substansial. Harapan saya, PPATK dapat belajar dari kontroversi ini dengan mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan analisis yang matang dalam merumuskan kebijakan. Dengan demikian, kepercayaan publik dapat dipulihkan, dan upaya pemberantasan kejahatan keuangan, termasuk melalui pengesahan RUU Perampasan Aset, dapat berjalan lebih efektif dan mendapat dukungan yang lebih luas.
Daftar Pustaka:
Entman, R. M. (1993). Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm. Journal of Communication, 43(4), 51–58.
Goffman, E. (1974). Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Indonesia Corruption Watch. (2023). Laporan Tahunan Korupsi 2023.
McCombs, M. E., & Shaw, D. L. (1972). The Agenda-Setting Function of Mass Media. Public Opinion Quarterly, 36(2), 176–187.
Suchman, M. C. (1995). Managing Legitimacy: Strategic and Institutional Approaches. Academy of Management Review, 20(3), 571–610.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. (2025). Pernyataan Sikap YLKI terkait Pemblokiran Rekening Dormant.
Komentar