• Hari ini: December 29, 2025

LOBI - LOBI SJAFRIE SJAMSOEDDIN

29 December, 2025
46

Menteri Pertahanan Sjafrie pada 15 Oktober bertemu dengan Ketum Partai NasDem Surya Paloh, pertemuan itu bertujuan untuk menjalin hubungan dengan partai politik. Meskipun secara struktural dan substansial, tugas ini merupakan milik Kemenko Polkam, namun Kemhan berperan dalam konteks stabilitas nasional dan menjaga kedaulatan negara. Sjafrie juga menegaskan bahwa pertemuan ini merupakan kunjungan pertama parpol ke Kemenhan, dan diharapkan dapat memberikan masukan informal yang penuh dengan komitmen nasionalisme dan patriotisme.

Pertemuan antara Sjafrie dan Paloh pun membuat saya merasa janggal, karena jika diingat-ingat, Sjafrie juga pernah betemu dengan sebuah organisasi beberapa bulan terakhir dan juga membahas hal yang kurang lebih sama. Dalam pertemuan dengan PB HMI, Menhan Sjafrie menekankan pentingnya generasi muda HMI untuk senantiasa memelihara semangat nasionalisme sekaligus menjaga persatuan bangsa. Namun pada akhir Agustus menurut Rencana Giat Polri yang bocor, HMI sudah merencanakan untuk melakukan aksi unjuk rasa, di mana kita semua tahu bahwa kerusuhan yang terjadi pada saat demo, membuat Sjafrie merekomendasikan pemerintah untuk memberlakukan darurat militer.

Nah yang jadi pertanyaan pertama, dengan tujuan pertemuan yang sama tentang “nasionalisme”, apakah akan terjadi lagi aksi demonstrasi yang berujung kerusuhan? Di sisi lain, berdasarkan pantauan saya di platform media sosial X, aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh para santri imbas tayangan di Trans7 terus saja meluas, bahkan Mall Transmart di Jember juga ikut menjadi sasaran aksi demo. Dan yang jadi pertanyaan kedua, jika demo santri terus saja melus nantinya, apakah terjadi tunggangan pada demo itu? Pertanyaan terakhir, jika terjadi kerusuhan, apakah rencana pemberlakuan darurat militer akan kembali mencuat yang berakhir dengan kesuksesan?

Selain bertemu dengan NasDem, Sjafrie juga bertemu dengan petinggi PKS dan pertemuannya digelar secara tertutup. Menariknya, PKS yang selama ini terlihat selalu mendukung Prabowo justru bertemu dengan sosok yang pernah mengajukan pemberlakuan darurat militer, di mana ketika Prabowo dikudeta (misal) maka yang akan menggantikannya adalah Sjafrie selaku Menteri Pertahanan. Nah yang jadi pertanyaan, apakah ada politik transaksional dalam pertemuan itu? Apakah PKS yang selama ini sangat “haus” akan jabatan strategis akhirnya akan mendapatkannya jika terjadi skema kudeta di Indonesia?

Sebagai bahan informasi, kudeta sering terjadi di negara berkembang dengan pendapatan rendah atau militer yang historically empowered, di mana militer bertindak sebagai "guardian" demokrasi tapi sebenarnya mencari kontrol. Jika kalian bisa memahami tulisan saya dari awal paragraf, termasuk tujuan dari pertemuan Sjafrie dengan PB HMI dan Surya Paloh. Maka, alasan “menjaga demokrasi” atau “nasionalisme” yang dibahs oleh Sjafrie dalam beberapa pertemuannya sangat identik dengan teori Kudeta Militer di awal narasi pada paragraf ini.


Duet Militer dan Partai Politik 

Teori Praetorianism yang pertama kali dikembangkan oleh Samuel E. Finer dalam bukunya The Man on Horseback: The Role of the Military in Politics (1962), menggambarkan militer sebagai pihak "penjaga praetorian" yang intervensi ke ranah politik ketika institusi sipil lemah atau tidak mampu menjaga stabilitas. Berbeda dari teori kudeta klasik yang fokus pada perebutan kekuasaan secara paksa, praetorianism menekankan peran militer sebagai arbiter atau "penyelamat" yang sering dimulai dari manuver tersembunyi, seperti pertemuan rahasia dengan elit sipil untuk membangun aliansi. Di Indonesia, teori ini sangat relevan karena militer memiliki sejarah panjang sebagai aktor dominan, dari era Orde Baru di bawah Soeharto hingga transisi demokrasi pasca-1998, di mana militer bertransformasi dari penguasa praetorian menjadi mitra koalisi Presiden atau bahkan calon dari Presiden itu sendiri nantinya.

Nah yang jadi pertanyaan, apa yang dimaksud dari intervensi ke ranah politik ketika institusi sipil lemah atau tidak mampu menjaga stabilitas? Jika kalian mengamati pemberitaan selama beberapa bulan terakhir, terdapat banyak sekali narasi yang menyatakan tentang ketidakpercayaan sipil terhadap pemerintahan Presiden Prabowo, khususnya dalam pemberantasan korupsi dan kebebasan masyarakat dalam beraspirasi. Propaganda “anti korupsi” dan “pembungkaman” memang sering terjadi di banyak negara yang mengalami kudeta militer seperti Mesir, Myanmar, bahkan Indonesia sendiri ketika Soeharto masih berkuasa.

Pertemuan antara Sjafrie dengan PKS dan NasDem yang mungkin saja dengan bahasan yang masih sama, yaitu “nasionalisme” dan “stabilitas negara” bisa dilihat sebagai bentuk praetorianism modern di mana Sjafrie, dengan latar usulan pemberlakuan darurat militer pada akhir Agustus 2025, mungkin sedang memposisikan diri sebagai "penjaga" jika Prabowo menghadapi ancaman internal atau eksternal. Jika skema kudeta hipotetis terjadi—misalnya, akibat ketidakstabilan politik—militer di bawah Sjafrie bisa mengambil alih sebagai "praetorian guard", dengan transaksi politik seperti janji jabatan kepada PKS dan NasDem untuk memastikan dukungan kedua partai tersebut.

Lobi-lobi Sjafrie ke partai politik hingga organisasi seperti HMI ini mencerminkan pola yang umum terjai pada negara-negara di Asia yang mengalami kudeta, di mana praetorianism tidak selalu berujung kudeta berdarah, tapi melalui koalisi tersembunyi yang memperkuat pengaruh militer atas nama stabilitas nasional.

Sementara itu dalam Teori Policy Cartelization, yang dikemukakan oleh Richard S. Katz dan Peter Mair dalam artikel mereka "Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of the Cartel Party" (1995), menjelaskan bagaimana partai-partai politik berubah menjadi "kartel" yang berkolusi untuk berbagi kekuasaan dan sumber daya negara, daripada bersaing secara ideologis. Teori ini “niche” karena lebih fokus pada demokrasi matang di Barat, tapi adaptasinya ke negara berkembang seperti Indonesia menyoroti bagaimana kartelisasi melemahkan oposisi sejati, menciptakan "demokrasi tanpa oposisi" di mana elit partai menggunakan transaksi untuk mempertahankan akses ke jabatan dan anggaran.

Di Indonesia, kartelisasi partai telah menjadi pola pasca-Reformasi, di mana koalisi besar seperti di era Jokowi dan kini Prabowo melibatkan hampir semua partai untuk berbagi kekuasaan, sering melalui pertemuan tertutup dan kesepakatan pragmatis. Pertemuan antara Sjafrie dengan NasDem dan PKS bisa diinterpretasikan sebagai upaya kartelisasi di mana PKS, meski ideologis Islamis dan mendukung pemerintahan Prabowo, mungkin sedang "kartelisasi" dengan elit militer untuk menjamin jabatan strategis jika kudeta terjadi, seperti posisi di Kementerian Pertahanan atau pemerintahan transisi. Imbalan yang mungkin terjadi itu merupakan transaksional karena kartel partai di Indonesia bergantung pada pembagian kekuasaan oleh Presiden pengganti Prabowo jika kudeta berhasil terjadi.


Pengisolasian Prabowo pada Demo Akhir Agustus 2025 

Dalam sebuah informasi yang disampaikan oleh Tempo, diberitakan bahwa Presiden Prabowo sempat diisolasi saat kerusuhan aksi massa terjadi pada akhir Agustus 2025. Pengisolasian itu menurut saya adalah langkah yang sangat tidak masuk akal, bahkan sangat menyakiti hati banyak masyarakat, kenapa? Presiden sebagai seorang pemimpin seharusnya mengetahui setiap hal yang terjadi di masyarakat, suka atau tidak suka, hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus diketahui oleh Presiden. Namun, jika Prabowo diisolasi dari informasiinformasi penting, berarti ada sebuah anomali besar yang sedang dimainkan oleh aktor-aktor yang berkepentingan.

Palace Coup atau Kudeta Istana merupakan sebuah kudeta yang dilakukan oleh faksi internal di lingkaran kekuasaan (seperti penasihat, keluarga, atau elit militer) tanpa kekerasan massal, sering melalui isolasi pemimpin dari realitas eksternal. Dalam palace coup, aktor intelektual sengaja menciptakan "gelembung informasi" (information bubble) di mana Presiden hanya mendapat laporan positif yang dimanipulasi, sementara kritik, protes, dan ketimpangan disembunyikan. Tujuannya adalah membuat Presiden kehilangan dukungan publik secara diamdiam, sehingga mudah digantikan tanpa perlawanan luas. Palace Coup dikembangkan dari studi sejarah kudeta di kerajaan dan rezim otoriter, seperti di Kerajaan Ottoman atau Rusia Tsar, di mana penjaga istana (praetorian guard) mengontrol akses informasi untuk melemahkan raja sebelum kudeta.

Sementara itu dalam lanskap Information Manipulation in Coup d'État atau Manipulasi Informasi dalam Kudeta, Naunihal Singh dalam bukunya yang berjudul Seizing Power: The Strategic Logic of Military Coups (2014), bahwa kudeta sukses bergantung pada penguasaan informasi selama tahap persiapan. Aktor intelektual (seperti perwira militer atau intelijen) sengaja mengisolasi pemimpin dari informasi kritis seperti protes atau ketimpangan dengan menyaring laporan, sehingga Presiden hanya menerima narasi positif yang dimanipulasi untuk menjaga ketenangan palsu. Efeknya yaitu, menciptakan "asimetri informasi" di mana Presiden tidak sadar akan ketidakpuasan publik atau konspirasi internal, membuatnya rentan terhadap kudeta mendadak. Dalam rezim otoriter, manipulasi ini sering dilakukan oleh "aktor bayangan" untuk melemahkan Presiden sebelum perebutan kekuasaan, seperti di Mesir 2013 di mana militer mengontrol info untuk Abdel Fattah el-Sisi melengserkan Morsi.

Nah berdasarkan dua teori di atas tadi, melihat reaksi Prabowo yang menilai bahwa keadaan Indonesia saat ini sedang baik-baik saja, kritik dari masyarakat sipil yang sering diremehkan oleh Prabowo, menjawab anomali besar tentang pengisolasian yang sempat diterima oleh Prabowo. Dan jika keadaan yang seperti tadi masih saja berlangsung tanpa adanya upaya untuk menetralkan kondisi Prabowo, maka suatu hari nanti desas-desus kudeta yang ditujukan kepada Prabowo akan menjadi kenyataan.


Kesimpulan 

Dinamika politik Indonesia di era Prabowo Subianto tampak semakin kompleks dan penuh intrik, di mana pertemuan-pertemuan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dengan tokoh seperti Surya Paloh dari NasDem dan petinggi PKS menjadi cerminan dari potensi ketidakstabilan. Pertemuan pada 15 Oktober 2025 dengan Paloh, yang secara resmi bertujuan memperkuat hubungan untuk stabilitas nasional dan masukan patriotik, seolah mengulang pola diskusi sebelumnya dengan PB HMI tentang nasionalisme. Namun di balik retorika ini, tulisan saya menyoroti tentang kekhawatiran akan demonstrasi yang berpotensi berujung kerusuhan, seperti aksi santri yang meluas akibat tayangan Trans7 hingga menyasar Transmart di Jember. Pertanyaan tentang adanya tunggangan politik dalam demo-demo tersebut, serta kemungkinan pemberlakuan darurat militer yang pernah diusulkan oleh Sjafrie pasca-kerusuhan akhir Agustus 2025, menggambarkan skenario di mana aliansi militer-partai bisa menjadi katalisator perubahan rezim. Spekulasi politik transaksional dengan PKS—partai yang saya gambarkan "haus" jabatan—menimbulkan dugaan bahwa pertemuan tertutup ini bagian dari persiapan kudeta hipotetis, di mana Sjafrie berpotensi menggantikan Prabowo.

Teori Praetorianism dari Samuel E. Finer, mengilustrasikan militer sebagai "penjaga praetorian" yang intervensi saat institusi sipil lemah, seperti ketidakpercayaan publik terhadap pemerintahan Prabowo dalam isu korupsi dan kebebasan aspirasi. Pertemuan Sjafrie dengan partai-partai ini bisa dilihat sebagai manuver tersembunyi untuk membangun koalisi, mirip pola era Soeharto atau kudeta di Mesir dan Myanmar, di mana propaganda "nasionalisme" sering menjadi dalih kontrol militer. Sementara itu, Teori Policy Cartelization dari Katz dan Mair menjelaskan bagaimana partai-partai seperti NasDem dan PKS berubah menjadi "kartel" yang berkolusi demi pembagian kekuasaan, melemahkan oposisi sejati melalui transaksi jabatan. Di Indonesia pasca-Reformasi, pola ini terlihat dalam koalisi besar Prabowo, di mana pertemuan tertutup potensial menjadi jembatan untuk janji posisi strategis jika kudeta terjadi, sehingga memperkuat pengaruh militer atas nama stabilitas tanpa kekerasan berdarah.

Akhirnya, isolasi yang diterima oleh Prabowo selama kerusuhan akhir Agustus 2025, seperti dilaporkan Tempo, menjadi anomali krusial yang menandakan strategi lebih dalam. Sesuai dengan Teori Palace Coup dan Information Manipulation dari Naunihal Singh, aktor intelektual sengaja menciptakan "gelembung informasi" di mana Presiden hanya menerima narasi positif, buta terhadap kritik, protes, dan ketimpangan. Jika kondisi ini berlanjut—dengan Prabowo yang tampak meremehkan kritik sipil dan yakin segalanya baik-baik saja—maka desas-desus kudeta bisa bertransformasi menjadi kenyataan, mengancam fondasi demokrasi Indonesia.



Daftar Pustaka: 

(1) Bratkovich, M. (2023). From Theory to Reality: Understanding The Roots of Praetorianism. Russian Law Journal, 11(4), 123-145. (2) Council on Foreign Relations. (2025). Myanmar's Troubled History: Coups, Military Rule, and Ethnic Conflict. CFR. (3) Crouch, H. (2019). Indonesia: The Military's Transformation from Praetorian Ruler to Presidential Coalition Partner. Oxford Research Encyclopedia of Politics. Oxford University Press. (4) Finer, S. E. (1962). The Man on Horseback: The Role of The Military in Politics. Westport, CT: Praeger. (5) Honna, J. (2022). Praetorianism in Southeast Asia: A Comparative Study Between Indonesia, Myanmar, and Thailand. Global South Review, 8(2), 45-67. (6) Katz, R. S., & Mair, P. (1995). Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of The Cartel Party. Party Politics, 1(1), 5-28. (7) Katz, R. S., & Mair, P. (2018). Democracy and The Cartelization of Political Parties. Oxford University Press. (8) Kingsbury, D. (2013). Praetorian Rule and Redemocratisation in South-East Asia and The Pacific. Australian Journal of International Affairs, 67(3), 304-323. (9) Singh, N. (2014). Seizing Power: The Strategic Logic of Military Coups. Johns Hopkins University Press. (10) Slater, D. (2018). Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Power-Sharing and The Contingency of Democratic Opposition. Journal of East Asian Studies, 18(1), 23-46.

Tag

Komentar