• Hari ini: December 29, 2025

Operasi Intelijen dalam Skema Darurat Militer dan Konsolidasi Masyarakat Sipil pada Aksi Demonstrasi 28-30 Agustus 2025

29 December, 2025
118

Perang Gerilya merupakan sebuah strategi perang tidak konvensional yang dilakukan oleh kelompok kecil dan terorganisir untuk melawan musuh yang lebih besar dan kuat. Sedangkan, taktik yang digunakan meliputi serangan kilat (hit and run), penyergapan, dan sabotase, dengan tujuan mengganggu, menunda, atau mengacaukan operasi musuh. Taktik ini mengandalkan kecepatan, mobilitas, dan pengetahuan medan untuk memanfaatkan kelemahan musuh, sering kali dengan dukungan masyarakat setempat. Jenderal Soedirman merupakan tokoh penting dalam perang gerilya di mana, beliau memimpin gerilya dari medan perang yang sulit saat melakukan serangan kilat untuk mengalahkan Belanda. Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, taktik gerilya menuai keberhasilan di mana pada saat itu Belanda hanya mampu menguasai Yogyakarta selama dua jam.

Jika dianalogikan, taktik yang dilakukan oleh masyarakat sipil selama aksi demonstrasi yang berlangsung dari 28 hingga 30 Agustus 2025, mirip dengan teknik yang digunakan selama Perang Gerilya, sebagai bentuk perlawanan asimetris, yang telah lama menjadi strategi efektif bagi kelompok yang menghadapi kekuatan militer superior. Dalam sejarah Indonesia, perang gerilya mencapai puncak keberhasilannya selama Agresi Militer Belanda II (1948–1949), ketika Jenderal Soedirman memimpin Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam kondisi sumber daya terbatas dan kesehatan yang memburuk. Dengan mengandalkan taktik serangan mendadak, penyergapan, dan mobilitas tinggi di medan geografis yang sulit seperti hutan dan pegunungan, Soedirman berhasil menguras tenaga dan memecah konsentrasi pasukan Belanda, sembari memanfaatkan dukungan masyarakat lokal sebagai pilar logistik dan moral (Ricklefs, 2001)1 .

Dalam Pokok-Pokok Gerilya yang ditulis oleh A.H. Nasution (1953), dirinya menegaskan bahwa esensi gerilya terletak pada fleksibilitas, adaptabilitas, dan kemampuan untuk memaksimalkan solidaritas rakyat guna menghadapi musuh yang lebih kuat2 . Strategi ini tidak hanya mempertahankan semangat perjuangan kemerdekaan, tetapi juga membuktikan bahwa kekuatan asimetris dapat mengubah dinamika konflik.

Prinsip-prinsip perang gerilya ini tidak terbatas pada ranah militer, tetapi juga relevan dalam konteks sosial-politik modern, terutama di era digital. Melalui platform media sosial seperti X, masyarakat sipil kini mampu menerapkan strategi serupa di dalam ruang virtual seperti bergerak secara terdesentralisasi, menyembunyikan identitas, dan melancarkan “serangan” informasi untuk mengganggu narasi politik dominan atau rencana strategis pihak tertentu. Fenomena ini dapat dianalisis melalui Teori Gerakan Sosial (Tarrow, 1994), yang menyoroti bagaimana mobilisasi kolektif muncul dari kesadaran bersama akan ancaman atau ketidakadilan3 .

Teori Konspirasi sebagai Pedoman Persepsi Publik

Ketika publik kebingungan dalam memahami situasi politik yang sedang terjadi pasca aksi demonstrasi, setidaknya ada satu teori yang bisa dijadikan acuan dalam berpikir bagi masyarakat untuk memahami intrik yang sedang terjadi saat ini, yaitu Teori Konspirasi. Dalam keadaan politik Indonesia yang penuh dengan spekulasi seperti pasca aksi demonstrasi yang awalnya dilakukan oleh kaum buruh pada 28 Agustus 2025, yang kemudian berakhir dengan kerusuhan akibat tewasnya seorang pengemudi ojek online, sehingga terjadi peristiwa pembakaran serta penjarahan, membuat masyarakat di berbagai platform media sosial lebih mempercayai teori konspirasi sebagai penjelasan yang masuk akal. Teori konspirasi, dalam kajian ilmu sosial, merujuk pada pendekatan analitis yang mempelajari narasi atau keyakinan bahwa peristiwa tertentu merupakan hasil dari rencana tersembunyi yang dirancang oleh aktor-aktor berkuasa dengan motif yang tidak diungkapkan kepada publik (Barkun, 2003)4 . Berbeda dengan analisis berbasis fakta yang mengandalkan bukti empiris, narasi konspirasi sering kali bersifat spekulatif, mengisi kekosongan informasi dalam situasi ketidakpastian politik atau sosial. Teori ini tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk memahami persepsi publik terhadap peristiwa, tetapi juga mengungkap dinamika ketidakpercayaan terhadap institusi resmi dan mekanisme kekuasaan.

Michael Barkun (2003) mengidentifikasi tiga karakteristik utama narasi konspirasi: pertama, keyakinan bahwa tidak ada peristiwa yang terjadi secara kebetulan; kedua, asumsi adanya aktor tersembunyi yang mengendalikan peristiwa di balik layar; dan ketiga, pandangan dualistik bahwa dunia terbagi antara kekuatan baik dan jahat. Karakteristik ini membuat narasi konspirasi menarik bagi masyarakat yang merasa terpinggirkan atau skeptis terhadap narasi resmi pemerintah. Richard Hofstadter (1964), dalam The Paranoid Style in American Politics, memperkenalkan konsep “gaya paranoid,” yang menggambarkan kecenderungan masyarakat untuk menafsirkan peristiwa politik melalui lensa kecurigaan terhadap elit, terutama dalam konteks krisis kepercayaan terhadap institusi5 .

Dalam era digital, perkembangan platform media sosial seperti X telah mengubah lanskap penyebaran narasi konspirasi. Menurut Jodi Dean (2009), media sosial menciptakan “komunitas konspirasi” di mana individu-individu yang tidak saling mengenal dapat berkolaborasi secara daring untuk membangun dan menyebarkan narasi alternatif6 . Proses ini dipercepat oleh mekanisme viralitas, di mana informasi menyebar dengan cepat melalui interaksi pengguna seperti retweet, hashtag, atau unggahan berulang (boyd, 2010)7 . Sedangkan jika dilihat dalam lanskap pemikiran Foucault (1980), kekuasaan dijalankan melalui pengendalian narasi dan pengetahuan, tetapi dalam konteks digital, masyarakat sipil memiliki kemampuan untuk menciptakan kontra-narasi8 . Dalam kasus demonstrasi di Indonesia yang terjadi pada akhir Agustus 2025, spekulasi tentang rencana darurat militer atau pengkhianatan dalam lingkaran kekuasaan mencerminkan upaya masyarakat untuk merebut kembali kendali narasi dari elit politik.

Tuntutan Pembubaran DPR RI

Masih menjadi sebuah misteri kenapa Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, bertemu dengan Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) pada 11 Agustus 2025, yang diklaim bahwa pertemuan itu membahas pentingnya menjaga persatuan dan nasionalisme di kalangan pemuda HMI (Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, 2025)9 . Pertemuan yang berlangsung 2 minggu sebelum aksi demonstrasi 25 Agustus akhirnya terkuak, ketika sebuah tangkapan layar dari sebuah dokumen tentang Perkiraan Aksi Unjuk Rasa pada tanggal 25 Agustus 2025 bocor di mana, HMI turun aksi dengan mengerahkan tiga cabangnya di Jakarta.


Sebagai bahan informasi, aksi unjuk rasa yang dilakukan pada 25 Agustus 2025 menuntut pembubaran DPR, di mana menurut penulis tuntutan itu sangat jauh dari standar “agent of change” yang diharapkan. Kenapa? Mahasiswa yang seharusnya bisa berpikir kritis dan logis, malah meminta pemerintah untuk membubarkan DPR alih-alih menyuguhkan pemikiran kritis untuk membenahi DPR RI. Logikanya,jika DPR RI dibubarkan maka kekuasaan Presiden menjadi tak terbatas di mana, pembubaran DPR RI yang menjadi tuntutan HMI jauh di bawah standar intelejensia sebagai mahasiswa.

Spekulasi seputar demo 25 Agustus pun mulai mencuat, di mana penulis sendiri mempertanyakan keaslian dari unjuk rasa itu dan berasumsi bahwa demonstrasi yang terjadi pada tanggal 25 Agustus merupakan aksi yang tidak murni. Kenapa? Pertama, sebagai “agent of change”, tuntutan membubarkan DPR RI sangat “out of logic” karena tidak berlandaskan value dengan dunia akademik. Kedua, massa yang menghadiri unjuk rasa itu tidak melibatkan mahasiswa dan buruh di mana dalam aksi-aksi menyampaikan aspirasi yang menyangkut hajat hidup rakyat, mahasiswa dan buruh selalu ikut meramaikan. Maka dari itu, asumsi saya yang menganggap bahwa unjuk rasa yang berlangsung pada 25 Agustus 2025 serat dengan muatan politis, yang mana berhubungan secara langsung dengan operasi intelijen dalam melengserkan Presiden Prabowo Subianto. Asumsinya, jika demonstrasi yang menuntut pembubaran DPR berakhir dengan kerusuhan, maka militer dapat merangsek masuk dalam rangka menguasai gedung DPR RI dan mengambil alih dari tangan massa yang melakukan kerusuhan. Sebagai bahan informasi, ketika DPR RI dibubarkan maka akan terjadi kekosongan di parlemen. Dan, ketika parlemen kosong, maka akan diamankan oleh militer dalam kondisi luar biasa atau yang menyangkut stabilitas nasional. Beruntungnya, percakapan di platform X berhasil mencegah masyarakat sipil yang tidak mengetahui tentang adanya potensi darurat militer jika unjuk rasa berakhir ricuh, sehingga tidak terjadi kerusuhan pada aksi demonstrasi yang berlangsung pada 25 Agustus 2025.

Aksi Massa 28 Agustus 2025 dan Konsolidasi Kerusuhan 

Demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada 28 Agustus 2025 di depan Gedung DPR RI, Jakarta, yang digerakkan oleh Serikat Buruh dalam menentang kebijakan outsourcing dan upah murah (HOSTUM), berujung pada kerusuhan yang memicu kemarahan publik secara luas. Puncak tragedi terjadi ketika Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun, tewas setelah dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob di Jalan Penjernihan I, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Video insiden ini menjadi viral di platform X, memicu kemarahan komunitas ojek online, mahasiswa, dan masyarakat sipil, yang menilai bahwa tindakan aparat sebagai bentuk represi berlebihan.

Kerusuhan yang terjadi pasca tewasnya Affan merupakan eskalasi dari gelombang protes yang dimulai pada 25 Agustus 2025, dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kenaikan tunjangan anggota DPR, Pajak Bumi dan Bangunan, dan kesenjangan ekonomi. Aksi awal pada 25 Agustus telah ditandai dengan tindakan anarkis, seperti pembakaran sepeda motor dan perusakan pos polisi, namun kematian Affan meningkatkan ketegangan secara signifikan. Pada malam 28 Agustus, ribuan pengemudi ojek online dan massa mendatangi Markas Komando Brimob di Kwitang, menuntut keadilan, tetapi aksi ini diwarnai oleh pelemparan batu, pembakaran kendaraan, dan penggunaan gas air mata oleh aparat. Demonstrasi lanjutan pada 29 Agustus, yang dipimpin oleh mahasiswa dan komunitas ojek online di Polda Metro Jaya dan Mako Brimob, kembali ricuh, dengan laporan penjarahan rumah pejabat, pembakaran gedung DPRD di berbagai daerah, dan kematian tambahan, termasuk seorang mahasiswa di Yogyakarta dan seorang korban di Makassar yang diduga disangka intelijen. Total, setidaknya tujuh orang tewas dalam gelombang protes 25 Agustus hingga 1 September 2025.

Eskalasi itu membuat saya berspekulasi, bahwa kerusuhan sengaja dimanfaatkan oleh aktor politik untuk menciptakan ketidakstabilan yang membenarkan penerapan darurat militer. Narasi di platform X, dengan hashtag seperti #KeadilanUntukAffan dan #PolisiPembunuhRakyat, menuduh adanya “provokator terkoordinasi” yang menyusup ke dalam aksi massa untuk mendelegitimasi gerakan sipil. Pernyataan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin tentang pelibatan TNI untuk “memelihara keamanan dan ketertiban” serta perintah Presiden Prabowo Subianto kepada Badan Intelijen Negara (BIN) untuk memantau dinamika lapangan, memicu kekhawatiran akan perluasan kewenangan militer.

Di dalam Teori Konspirasi yang menyatakan bahwa dalam situasi krisis, masyarakat cenderung mencari penjelasan sederhana dengan menuding aktor tersembunyi sebagai dalang kerusuhan. Selain itu, tertangkapnya dua anggota Badan Intelijen Strategis memicu spekulasi adanya keterlibatan TNI. Narasi ini mirip dengan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada kerusuhan Mei 1998, di mana penyusup memicu kekacauan untuk kepentingan politik. Sementara itu, dalam lanskap Teori Perang Asimetris, semakin melengkapi analisis penulis dengan menjelaskan bagaimana aktor tertentu menggunakan taktik tidak konvensional untuk mencapai tujuan politik. Aksi demonstrasi 29 Agustus yang memuat laporan tentang adanya oknum yang menyamar sebagai pengemudi ojek online untuk menyulut kerusuhan, menunjukkan taktik asimetris yang memanfaatkan kekacauan untuk mendelegitimasi protes. Sebaliknya, masyarakat sipil menggunakan platform X sebagai alat “gerilya digital,” mendokumentasikan provokator dan menyebarkan informasi melalui hashtag untuk melawan narasi resmi pemerintah. Namun, kelemahan intelijen negara, memunculkan spekulasi bahwa aktor politik sengaja membiarkan kerusuhan untuk membuka ruang bagi darurat militer.

Pelibatan TNI dalam patroli dan penyelamatan kendaraan yang terbakar di Kwitang, serta kehadiran kendaraan tempur di Jakarta Barat, memicu narasi di platform X tentang potensi adanya darurat militer, meskipun Wakil Panglima TNI Jenderal Tandyo Budi Revita menegaskan tidak ada rencana tersebut. Secara konstitusional, darurat militer hanya dapat diterapkan dalam kondisi pemberontakan atau ancaman serius terhadap negara (UU No. 23/1959), tetapi absennya regulasi jelas tentang peran TNI dalam keamanan dalam negeri meningkatkan risiko penyalahgunaan kewenangan. Koalisi masyarakat sipil menyerukan pembentukan tim independen oleh Komnas HAM untuk mengusut dugaan penyusupan dan kekerasan serta melakukan respons cepat, sehingga situasi tidak dapat melampaui krisis 1998. Kematian Affan Kurniawan tidak hanya menjadi simbol ketidakadilan, tetapi juga katalis yang memperkuat solidaritas masyarakat sipil melawan potensi manipulasi politik, menegaskan perlunya reformasi keamanan untuk menjaga supremasi sipil dan menjawab akar permasalahan sosial-ekonomi yang memicu protes

Tarot dan Pengkhianatan Orang Kepercayaan Prabowo

 Masih pada tanggal 28 Agustus 2025, di platform X terdapat satu postingan yang mendapat ribuan kutipan, yaitu tentang permintaan pembacaan tarot Prabowo Subianto. Netter pun ramai-ramai membacakan tarot di mana dari hasil yang dibagikan, ada dua hal yang membuat saya tertarik yaitu pengkhianatan dari orang kepercayaan Prabowo serta munculnya The Devil.

Pemilik akun dengan username (@)autumninkyoto membagikan hasil bacaan tarotnya dengan 4 hasil, di mana pada era pemerintahan Presiden Prabowo akan terjadi depresiasi rupiah, chaos, menjadi sorotan dunia, dan munculnya The Devil.

Selama berjalannya pemerintahan Presiden Prabowo, nilai tukar rupiah mengalami beberapa kali depresiasi sehingga menyebabkan kurs rupiah semakin lemah terhadap dollar Amerika Serikat. Berikutnya yaitu chaos, di mana pada penghujung Desember 2024 terjadi aksi demonstrasi salah satunya tentang aksi protes terhadap kenaikan PPN 12%, sehingga menimbulkan kericuhan. Kemudian, aksi unjuk rasa bertajuk

IndonesiaGelap yang berkaitan dengan RUU TNI, dan ajakan KaburAjaDulu sempat masuk ke dalam beberapa portal berita yang dimuat oleh media asing. Dan yang terakhir, munculnya The Devil ini saya asumsikan sebagai Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang mengundang perwakilan dari komunitas ojek online, di mana pertemuan itu menunjukan ketidak-sinergian dengan Presiden Prabowo Subianto.

Pertanyaannya, kenapa saya menempatkan Gibran sebagai “The Devil”? Karena dalam beberapa konferensi pers yang dilakukan oleh Prabowo, tidak ada sosok Gibran yang mendampingi. Dan ketika Prabowo bertemu dengan para petinggi partai, lagi-lagi Gibran tidak kelihatan batang hidungnya. Sebaliknya, Gibran sibuk mengunjungi korban kerusuhan aksi demonstrasi 28 Agustus, bertemu dengan perwakilan ojek online, hingga membagikan sembako untuk peserta aksi unjuk rasa. Langkah politis yang dilakukan oleh Gibran itu tentu membuat publik berspekulasi, apakah Gibran sedang mem-branding dirinya sebagai sosok “Messiah” di saat Prabowo sedang menghadapi tekanan dari masyarakat?

Dalam postingan lain yang dibagikan oleh salah satu pengguna media sosial X, disebutkan bahwa Prabowo akan dikhianati oleh salah satu orang kepercayaannya

Pertemuan Menhan Sjafrie dengan PB HMI pada 11 Agustus 2025, yang kemudian disusul oleh aksi unjuk rasa oleh 3 cabang HMI di Jakarta yang menuntut pembubaran DPR, membuat saya berspekulasi apakah orang yang dimaksud oleh tarot di atas adalah Menhan Sjafrie? Pertanyaan yang sesungguhnya ialah, apakah Presiden mengetahui bahwa PB HMI bertemu dengan Sjafrie, yang dua minggu kemudian membuat HMI melakukan aksi unjuk rasa yang menuntut pembubaran DPR RI? Spekulasinya, jika Prabowo tidak mengetahui pertemuan itu dan tidak mengerti hal apa saja yang dibahas, maka tarot yang menyebutkan bahwa Prabowo akan dikhianati oleh salah satu orang kepercayaannya menjadi kenyataan, di mana Menteri Pertahanan yang ia pilih menjadi salah satu aktor dalam kerusuhan yang terjadi. Dan jika kerusuhan semakin meluas, sebagai Menteri Pertahanan, Sjafrie akan segera melakukan darurat militer ketika Presiden Prabowo melakukan lawatan ke luar negeri.

Menolak Darurat Militer 

Di media sosial, khususnya platform X, terdapat sebuah fenomena/aksi yang disebut dengan “warga jaga warag” atau “sipil jaga sipil”. Aksi itu bertujuan untuk menjaga sesama warga sipil pada aksi demonstrasi yang berlangsung sejak 28-30 Agustus, dalam rangka melawan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan negara. Sedangkan yang menjadi keunikan tersendiri dari aksi ini yaitu, seolah terjadi vibrasi pada alam bawah sadar masyarakat sipil yang ikut meramaikan aksi unjuk rasa. Sebagai bahan informasi, setiap manusia memancarkan gelombang elektromagnetik yang berasal dari pikiran dan perasaannya yang disebut vibrasi. Gelombang ini, dapat ditarik oleh manusia dan merupakan energi yang dapat merubah keadaan maupun hasil yang kita tarik dalam hidup (Byrne, 2006)10 . Menurut buku The Secret karya Rhonda Byrne, ketika masyarakat berkumpul dengan energi positif, pikiran dan perasaan mereka yang selaras menciptakan vibrasi kolektif yang kuat. Buku ini menjelaskan bahwa setiap individu memancarkan frekuensi energi melalui pikiran dan emosi mereka, seperti gelombang magnetik yang menarik hal-hal serupa dari alam semesta. Saat orang-orang berkumpul dalam semangat persatuan, kasih sayang, dan optimisme—misalnya dalam kelompok yang fokus pada tujuan bersama seperti perdamaian atau kemakmuran—vibrasi ini saling memperkuat, membentuk medan energi yang lebih besar dan lebih intens. Byrne menekankan bahwa ini adalah bagian dari Hukum Tarik-Menarik (Law of Attraction), di mana energi positif dari kelompok tidak hanya menguatkan individu di dalamnya, tetapi juga memengaruhi lingkungan sekitar, karena alam semesta merespons frekuensi yang dominan dengan membawa lebih banyak pengalaman positif.

Hasil dari vibrasi kolektif ini, menurut buku tersebut, adalah manifestasi hasil positif yang lebih signifikan dalam kehidupan bersama. Byrne menggambarkan bahwa ketika masyarakat menyatukan pikiran mereka pada hal-hal baik, seperti kesuksesan bersama atau penyembuhan, vibrasi tinggi tersebut menarik peluang, sumber daya, dan perubahan yang selaras dengan energi itu. Contohnya, kelompok yang mempraktikkan rasa syukur dan visualisasi positif secara bersama-sama dapat mempercepat perwujudan tujuan kolektif, karena kekuatan gabungan mereka memperbesar sinyal yang dikirim ke alam semesta. Dalam konteks aksi demonstrasi yang terjadi sejak 28 Agustus, orang-orang di media sosial kompak mendoakan para pendemo agar diberi keselamatan, saling mengingatkan tentang “sipil jaga sipil”, mengingatkan tentang adanya provokator, memberi edukasi jika kerusuhan terus terjadi maka akan menciptakan darurat militer. Vibrasi positif dari seluruh kalangan masyarakat sipil ini, jika dianalogikan pada teknik gerilya, merupakan sebuah teknik dalam melawan tindakan represif aparat serta pencegahan agar tidak terjadi darurat militer. Mereka yang mengirimkan vibrasi positif tidak mempunyai komando, tidak melakukannya dengan perintah maupun paksaan. Hal itu menunjukan bahwa di saat kondisi negara sedang tidak baik-baik saja, masyarakat sipil melakukan konsolidasi secara acak, membentuk pola dengan sendirinya, lalu menghasilkan keadaan yang mencegah terjadinya darurat militer.

Kita semua, melalui peran masing-masing entah itu dengan berdoa, memberikan edukasi, memberikan nasehat, menyuplai konsumsi, dan yang lain-lain, berhasil menghalau kekuatan jahat yang menginginkan terjadinya darurat militer di Indonesia. Nah yang jadi pertanyaan, apa yang akan terjadi jika pemerintah memberlakukan darurat militer?

Jika akhirnya Menhan Sjafire diberlakukan darurat militer, konsekuensinya akan sangat merugikan bagi masyarakat sipil dan stabilitas negara secara keseluruhan. Berdasarkan sejarah dan analisis hukum, darurat militer akan mengalihkan kewenangan sipil ke tangan militer, di mana TNI mengambil alih fungsi keamanan dan ketertiban, termasuk pembatasan hak-hak dasar seperti kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat. Hal itu bisa menyebabkan sensor media yang ketat, jam malam, serta penangkapan tanpa proses hukum yang adil, yang pada akhirnya menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara masif, seperti kekerasan oleh aparat terhadap demonstran atau warga biasa. Dampak sosialnya juga akan memperburuk polarisasi masyarakat, di mana rasa takut dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah  semakin mendalam, berpotensi memicu gelombang protes baru yang lebih besar dan tidak terkendali, seperti yang terjadi di negara-negara lain yang pernah menerapkan kebijakan serupa. Ekonomi pun akan terdampak parah, dengan investor asing menarik diri karena ketidakstabilan, yang menyebabkan penurunan nilai mata uang, inflasi, dan pengangguran yang melonjak, sementara bisnis lokal kesulitan beroperasi di bawah pembatasan pergerakan barang dan orang.

Dalam perspektif vibrasi kolektif seperti yang dijelaskan dalam buku The Secret, penerapan darurat militer akan menciptakan frekuensi energi negatif yang dominan, di mana pikiran ketakutan, kemarahan, dan penindasan dari pemerintah dan aparat akan menarik lebih banyak pengalaman buruk ke dalam kehidupan bersama masyarakat. Alih-alih membawa perdamaian, vibrasi rendah ini bisa memperbesar medan energi destruktif, menarik konflik berkepanjangan, ketidakadilan sosial, dan bahkan kemunduran demokrasi seperti kembali ke era otoriter Orde Baru atau kondisi junta militer di negara tetangga seperti Myanmar. Byrne menekankan bahwa energi negatif dari kelompok berkuasa akan memperkuat lingkaran setan, di mana alam semesta merespons dengan membawa lebih banyak ketidakstabilan dan penderitaan, sehingga hasil positif seperti kemakmuran bersama menjadi semakin jauh dari jangkauan. Oleh karena itu, menolak darurat militer melalui vibrasi positif dari aksi "sipil jaga sipil" bukan hanya strategi praktis, tapi juga cara untuk menjaga frekuensi tinggi yang mampu menarik perubahan damai dan adil bagi Indonesia.

Penutup 

Dalam tulisan mendalam terhadap operasi intelijen dalam skema darurat militer selama aksi demonstrasi pada 28-30 Agustus 2025 ini, dapat dilihat bahwa dinamika konflik asimetris antara aparatur negara dan masyarakat sipil telah mencapai titik krusial. Platform digital seperti X tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyebaran informasi, tetapi juga sebagai arena gerilya modern di mana warga sipil melawan represi dan narasi resmi pemerintah. Melalui pendekatan Teori Konspirasi, sebagaimana diuraikan oleh Barkun (2003) dan Hofstadter (1964), tulisan ini mengungkap bagaimana spekulasi pengkhianatan internal—seperti pertemuan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dengan PB HMI pada 11 Agustus 2025—menciptakan lapisan ketidakpastian yang dimanfaatkan untuk membenarkan intervensi militer. Selain itu, prinsip perang gerilya yang dikemukakan oleh Nasution (1953) menunjukkan paralel antara taktik historis Jenderal Soedirman dengan strategi digital masyarakat sipil, di mana eskalasi kerusuhan pasca-kematian Affan Kurniawan pada 28 Agustus menjadi katalisator untuk memecah solidaritas rakyat.

Namun, respons organik dari masyarakat melalui aksi "sipil jaga sipil" dan vibrasi kolektif positif berhasil mencegah eskalasi menuju darurat militer, sebagaimana dijelaskan dalam konsep Hukum TarikMenarik oleh Byrne (2006). Vibrasi ini, yang muncul dari doa, edukasi, dan dukungan bersama di media sosial, menciptakan medan energi yang memperkuat persatuan tanpa komando terpusat, sehingga menghalau upaya manipulasi politik. Peristiwa ini mengingatkan pada sejarah Indonesia, di mana ketidakstabilan seperti pada kerusuhan Mei 1998 (seperti yang dibahas dalam laporan TGPF) sering dimanfaatkan untuk memperluas kewenangan militer, tetapi kali ini, konsolidasi sipil yang acak dan mandiri mampu membentuk pola pencegahan yang efektif. Hal ini menegaskan bahwa kekuatan rakyat bukan hanya dalam jumlah, melainkan dalam keselarasan pikiran dan emosi yang positif, yang mampu mengubah trajektori konflik dari kekacauan menuju kestabilan.

Implikasi dari peristiwa ini menyoroti urgensi reformasi struktural dalam sistem keamanan Indonesia, khususnya penguatan regulasi peran TNI dalam urusan dalam negeri sesuai dengan UndangUndang No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Tanpa transparansi intelijen yang lebih baik, ruang bagi Teori Konspirasi dan manipulasi akan terus berkembang, memperburuk polarisasi sosial dan ekonomi, seperti kenaikan PPN serta ketidakadilan upah yang memicu demonstrasi awal. Di era digital, di mana media sosial mempercepat mobilisasi massa sebagaimana dianalisis oleh Tarrow (1994) dan boyd (2010), masyarakat sipil perlu mengembangkan strategi kontra-narasi yang lebih canggih untuk melindungi hakhak dasar, termasuk kebebasan berekspresi dan berkumpul. Reformasi ini tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga melibatkan pendidikan publik untuk mengurangi ketergantungan pada narasi spekulatif dan mendorong dialog inklusif antara pemerintah dan rakyat. Akhirnya, pencegahan darurat militer dalam konteks ini bukan sekadar isu hukum atau politik, melainkan komitmen kolektif terhadap nilai-nilai demokrasi yang berkelanjutan. Dengan memanfaatkan energi positif dari persatuan, seperti yang terlihat dalam aksi demonstrasi 28-30 Agustus 2025, Indonesia dapat menghindari kemunduran ke era otoriter seperti Orde Baru atau kondisi junta militer di Myanmar. Tulisan ini menekankan bahwa perubahan damai hanya mungkin dicapai melalui solidaritas rakyat yang sadar dan proaktif, di mana setiap individu berkontribusi melalui peran masing-masing—baik doa, edukasi, maupun dukungan logistik—untuk menarik hasil positif bagi bangsa. Maka dari itu, masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kemampuan masyarakat untuk terus menjaga vibrasi tinggi ini, memastikan bahwa konflik diselesaikan melalui cara-cara yang adil dan manusiawi, bukan melalui penindasan militer.

Komentar